Subtopik 1.4.2 Praktik QA pada Startup vs Enterprise IT
Peran dan praktik Quality Assurance (QA) dalam pengembangan perangkat lunak sangat dipengaruhi oleh konteks organisasi tempat QA bekerja. Salah satu perbedaan paling mencolok bisa ditemukan saat membandingkan antara perusahaan rintisan (startup) dan perusahaan teknologi berskala besar (enterprise IT). Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam melakukan pengujian, mulai dari tujuan, proses kerja, struktur tim, hingga alat dan teknologi yang digunakan.
Di lingkungan startup, fokus utama QA biasanya terletak pada kecepatan dan kemampuan beradaptasi. Karena masih berada di tahap awal pengembangan produk, tim yang dimiliki biasanya kecil, anggaran terbatas, dan kebutuhan untuk segera menguji fitur di pasar sangat tinggi. Maka dari itu, aktivitas QA di startup dilakukan secara sederhana, fleksibel, dan sering kali bersifat eksperimental. QA tidak hanya bertugas menguji aplikasi, tetapi juga terlibat langsung dalam diskusi fitur, analisis risiko, dan pengumpulan umpan balik dari pengguna. Pengujian dilakukan dengan cepat, sering kali secara manual atau semi-otomatis, dan dokumentasinya pun tidak terlalu formal.
Sebaliknya, di lingkungan enterprise IT yang telah mapan dan melayani jutaan pengguna, QA berperan besar dalam menjaga kualitas perangkat lunak dalam skala luas. Sistem yang dikelola cenderung kompleks, saling bergantung satu sama lain, dan harus mematuhi berbagai standar keamanan serta regulasi industri, seperti ISO 27001, PCI-DSS, atau HIPAA. Karena itu, proses QA di perusahaan besar dilakukan secara sistematis dan terdokumentasi dengan baik. Pengujian mencakup berbagai tahapan, mulai dari unit test, integration test, system test, hingga User Acceptance Test (UAT). Penggunaan alat bantu pengujian otomatis, manajemen test, dan integrasi dengan Continuous Integration/Continuous Delivery (CI/CD) sudah menjadi bagian dari alur kerja harian.
Perbedaan utama lainnya terletak pada tujuan pengujian. Di startup, QA bertujuan untuk memastikan bahwa produk bisa segera diluncurkan dan diuji ke pasar, dengan tingkat risiko yang masih bisa ditoleransi. Sementara itu, di enterprise, QA lebih difokuskan untuk mencegah terjadinya gangguan sistem, mengelola risiko secara menyeluruh, dan menjaga stabilitas dalam jangka panjang. Kesalahan sekecil apapun dapat berdampak besar, seperti kerugian finansial, pelanggaran hukum, atau kerusakan reputasi perusahaan.
Perbandingan QA di Startup dan Enterprise IT
Pada kenyataannya, praktik QA tidak bisa disamaratakan. Setiap organisasi memiliki konteks operasional, tantangan, dan kebutuhan yang berbeda-beda, termasuk dalam hal kualitas perangkat lunak. Hal ini juga berlaku pada peran QA di lingkungan Startup dan Enterprise IT. Perbandingan antara keduanya bukan tentang mana yang lebih baik, melainkan tentang bagaimana peran QA perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan organisasi, budaya kerja, dan kondisi teknis yang dihadapi. Pemahaman ini sangat penting bagi QA Engineer agar bisa menyusun strategi pengujian yang sesuai, membangun komunikasi yang efektif, dan tetap adaptif dalam berbagai situasi. Praktik QA di lingkungan startup dan enterprise IT cenderung mencerminkan kebutuhan, skala, dan prioritas masing-masing.
1. QA di Startup
● Tim QA kecil, biasanya hanya 1-2 orang atau bahkan QA merangkap peran lain.
● Prioritas utama adalah kecepatan rilis produk (time-to-market) dan validasi Minimum Viable Product (MVP).
● Dokumentasi pengujian dibuat secara sederhana, menggunakan tools seperti Notion, Trello, atau Google Docs.
● Sering mengandalkan manual testing dan exploratory testing.
● Otomatisasi pengujian dilakukan bertahap, biasanya dimulai dari pengujian fungsional dasar.
● Siklus rilis berjalan cepat (harian atau mingguan), kadang tanpa tahapan UAT yang formal.
● QA bisa langsung berinteraksi dengan pengguna untuk mendapatkan umpan balik dan melakukan iterasi cepat.
2. QA di Enterprise IT
● Struktur tim QA lebih lengkap, terdiri dari peran khusus seperti QA Lead, Test Analyst, Automation Engineer, Performance Tester, dan lainnya.
● Mengikuti SOP pengujian yang jelas, terdokumentasi lengkap dan siap untuk diaudit.
● Wajib memenuhi standar kepatuhan (compliance) seperti ISO, GDPR, atau HIPAA.
● Proses pengujian meliputi semua aspek: fungsional, integrasi, sistem, keamanan, dan performa.
● Otomatisasi pengujian digunakan secara luas dan terintegrasi penuh dengan CI/CD.
● Proses rilis lebih panjang dan terstruktur, termasuk tahap UAT dan persetujuan dari pemangku kepentingan (stakeholder).
Untuk membandingkan karakteristik keduanya secara lebih jelas, Digiers dapat memahaminya melalui tabel berikut.
Aspek |
Startup |
Enterprise IT |
Ukuran Tim |
Kecil (1-3 orang) |
Besar dan terstruktur |
Siklus Rilis |
Cepat (harian/mingguan) |
Lama (mingguan/bulanan/kuartalan) |
Dokumentasi |
Minimal atau informal |
Lengkap dan formal |
Automation |
Terbatas, bertahap |
Wajib dan luas |
Fokus |
Validasi fitur dan umpan balik cepat |
Stabilitas, keamanan, dan compliance |
Gaya Pengujian |
Exploratory, fungsional dasar |
Terstruktur: fungsional, integrasi, keamanan |
Keterlibatan QA |
Sangat dekat dengan produk dan pengguna |
QA bisa jadi bagian terpisah dari pengembang |
Tabel 1.4.1 Perbandingan Karakteristik Praktik QA di Startup dan Enterprise IT
Studi Kasus: Praktik QA di Startup vs Enterprise IT
1. Kasus 1: Praktik QA di Startup EduTech
Sebuah startup di bidang EduTech mengembangkan aplikasi mobile yang memungkinkan siswa mengakses kuis, materi belajar, dan konten interaktif. Tim teknis dalam proyek ini terdiri atas:
● 1 QA Engineer (juga merangkap sebagai penguji UX)
● 3 Backend Developer
● 2 Frontend Developer (untuk aplikasi mobile)
● 1 Product Owner
● 1 UI/UX Designer
Sejak tahap pengembangan MVP, QA Engineer sudah terlibat dan menjalankan berbagai tugas lintas fungsi, mulai dari menguji fitur, membantu Product Owner merumuskan acceptance criteria, menyusun checklist untuk regression testing, hingga memantau laporan crash dari Firebase dan ulasan pengguna di Google Play.
Siklus Pengujian:
Gambar 1.4.2 Diagram SDLC Pada Proyek Agile
● Backlog (Pre Rilis): Product Owner menyusun daftar fitur, perbaikan, dan kebutuhan bisnis dalam bentuk Product Backlog. QA ikut terlibat dalam grooming backlog untuk memastikan setiap item dapat diuji.
● Analyze: QA mulai mengidentifikasi jenis pengujian yang akan dilakukan dan memberi feedback jika ada requirement yang kurang jelas.
● Define (Sprint Planning): QA mulai menyusun exploratory test plan dan memahami risiko potensial dari perubahan yang akan dikembangkan.
● Design (Pengembangan): QA menyusun test case (baik manual ataupun automation), termasuk skenario pengujian negatif dan edge case.
● Test (Regression Testing): Pengujian regresi dilakukan secara manual dengan bantuan spreadsheet sebagai checklist. Apabila ditemukan bug, maka QA melaporkan dalam bentuk bug report. Hasil pengujian dilaporkan dalam bentuk test report.
● Deploy (Rilis): Proses deployment dilakukan oleh developer, sementara QA melakukan smoke test dan memberikan persetujuan akhir (sign-off) berdasarkan hasil pengujian.
● Backlog (Pasca Rilis): QA ikut memantau error dan masukan dari pengguna. Umpan balik ini kemudian dijadikan dasar backlog sprint berikutnya.
Tantangan yang Dihadapi:
● Tidak memiliki lingkungan uji khusus, sehingga hanya mengandalkan environment staging yang dipakai bersama tim pengembang.
● Waktu untuk regression testing cukup panjang, sehingga QA harus memilih fitur mana yang perlu diuji terlebih dahulu.
● Tidak semua bug berhasil ditemukan akibat keterbatasan waktu dan minimnya dokumentasi.
● Pengujian beban (load testing) belum dilakukan karena keterbatasan infrastruktur.
Hasil:
Meskipun prosesnya sederhana, QA berhasil membantu menurunkan jumlah keluhan pengguna hingga 40% dalam tiga bulan pertama setelah peluncuran MVP. Keberhasilan ini dicapai melalui fokus pada pengujian fungsional dasar dan validasi cepat terhadap fitur-fitur utama.
2. Kasus 2: Praktik QA di Enterprise Fintech - Bank Digital
Sebuah bank digital berskala nasional menyediakan layanan perbankan melalui aplikasi mobile dan web. Layanannya meliputi transfer dana, investasi, pinjaman, serta pembayaran menggunakan QRIS.
Struktur tim QA terdiri atas:
● 1 QA Manager
● 4 QA Manual Engineer
● 6 QA Automation Engineer
● 2 Performance Tester
● 2 Security Tester
● 3 UAT Coordinator
Bank ini memiliki sistem berskala besar dan saling terintegrasi, mulai dari core banking, aplikasi mobile, CRM, API gateway, hingga integrasi dengan lembaga seperti BI, OJK, dan mitra fintech. Proses QA dijalankan secara ketat karena perusahaan harus mematuhi berbagai regulasi seperti OJK, ISO 27001, dan prosedur operasional internal.
Siklus Pengujian:
● Analisis Kebutuhan: QA ikut meninjau dokumen Business Requirement Document (BRD) dan menyusun test plan.
● Desain Pengujian: Seluruh test case disusun menggunakan TestRail, lengkap dengan traceability matrix untuk memetakan ke setiap requirement.
● Eksekusi Pengujian: QA Manual melakukan pengujian antarmuka dan API, sedangkan QA Automation menjalankan test suite secara otomatis melalui Jenkins.
● Pengujian Performa dan Keamanan: Dilakukan secara berkala untuk fitur baru maupun sistem yang sudah berjalan.
● User Acceptance Test (UAT): Dikoordinasikan bersama tim bisnis di lingkungan UAT yang terpisah.
● Rilis: Aplikasi baru dirilis setelah mendapat persetujuan tertulis dari QA Manager, tim IT Security, dan Komite Risiko.
● Monitoring Pasca Rilis: QA menyusun laporan regresi dan memantau metrik performa pasca rilis, seperti jumlah insiden dan waktu respons.
Tantangan yang Dihadapi:
● Perubahan kecil dapat berdampak besar karena kompleksitas dan saling ketergantungan antar sistem.
● QA harus bisa menjelaskan cakupan pengujian dan risiko kepada auditor serta pemangku kepentingan.
● Sinkronisasi lintas tim (dev, QA, infrastruktur, keamanan, bisnis) membutuhkan waktu dan koordinasi yang intensif.
● Semua dokumentasi pengujian harus selalu siap untuk audit dan diperbarui secara berkala.
Hasil:
Dengan proses QA yang ketat dan sistematis, bank digital ini berhasil melewati audit ISO, mempertahankan SLA uptime 99,99%, dan hanya mengalami dua insiden besar selama 12 bulan terakhir. Seluruh insiden tersebut dapat diatasi dalam waktu kurang dari empat jam.
